” Orang baik tidak perlu hukum untuk memberitahu mereka agar bertindak secara bertanggung jawab, sementara orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang.”
( Plato, Filsuf dari Yunani 427 SM – 347 SM)
SUMENEP, Relasipublik.com – PENGACARA yang tergabung dalam Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) hari ini (17/09/21) menggelar silaturrahim dan konsolidasi idealisme di Lumintu Resto & Cafe Kota Sampang.Temanya: “Quovadis Pengacara Syari’ah?”.
Tulisan ini ada setumpuk kata-kata yang meluap secara alamiah pada agenda sambutan dan arahan di acara itu.
Sebagaimana kita tahu, perspektif banyak orang terhadap profesi advokat sangat beragam. Ada yang menilai negatif karena dinilai suka membela yang bayar, suka memamerkan kekayaan, glamor, dan lain-lain.
Ada juga yang menilai secara positif dan memandang profesi ini sebagai profesi terhormat (officium nobile).
Dalam momentum ini saya ingin mengemukakan beberapa hal yang saya anggap penting karena berkaitan dengan idealisme.
Idealisme itu sejenis kecintaan pada ide, values, keyakinan, bahkan sikap menjadikan yang abstrak sebagai cita, visi dan misi yang lalu disongsong dengan semangat juang.
Konsolidasi idealisme menjadi hampa tanpa menentukan nilai apa yang yang musti diwujudkan, dipegang dan dipertahankan oleh pengacara APSI atau pengacara Syari’ah.
Idealisme pengacara yang dilengkapi kematangan human resource sangat menentukan integritas, profesionalitas berdasar keahlian, menentukan code of conduct dan etika profesi.
Pengacara Syari’ah tidak hanya terikat pada Kode Etik Advokat Indonesia yang secara mutatis mutandis berlaku bagi advokat-advokat Indonesia, tetapi juga terikat dengan nilai-nilai ke-Islam-an dalam melaksanakan tugas profesi.
Komitmen ke-Islaman dalam melaksanakan tugas profesi harus ditanamkan pada alam kebatinan pengacara Syari’ah, bahkan jika mungkin, jadikan perbedaan simbolik itu termanifestasi dalam perbedaan cara bersikap dan berperilaku yang dapat menjadi identitas bagi pengacara-pengacara Syari’ah, agar profesi ini benar-benar luhur, diwarnai nilai-nilai _ilahiyah_ yang universal.
Profesi sebagai pengacara Syari’ah pada sisi tertentu dapat menjadi sarana dakwah serta ladang amal, karena Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menegaskan bahwa: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.“
Namun pada sisi lain, advokat boleh menentukan sendiri standart honorarium, sepanjang disepakati oleh klien sebagaimana Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003, yaitu: “Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.”
Dalam momentum silaturrahim pesan utama yang perlu disampaikan adalah bagaimana pengacara Syari’ah benar-benar menjiwai apa yang dimaksud dengan pribadi advokat dalam Kode Etik Advokat Indonesia serta bagaimana pola tingkah dan pola laku pengacara Syari’ah, baik di internal, eksternal, antar sesama rekan APSI, sesama rekan sejawat, terhadap APH lain dan pada klien agar benar-benar tercermin advokat yang islami sehingga berintegritas, jujur, adil dan bertanggungjawab.
Apabila ada masalah internal, bermusyawarahlah terlebih dahulu, tabayun lalu melangkah. Apabila terdapat masalah dengan rekan sejawat, apalagi sesama rekan APSI hendaknya dibicarakan baik-baik dan tidak saling menyerang di media cetak ataupun elektronik. Itulah yang tertuang dalam etika profesi.
Seluruh advokat Indonesia harus memiliki solidaritas, dari manapun Organisasi Advokatnya, kita satu tubuh, kita adalah catur wangsa penegak hukum.
Begitupula dalam menangani perkara, hindarilah melanggar hukum, jangan bertindak seperti bajingan. Tapi, jika saudara terpaksa menjadi pengacara bajingan, saran saya, resapi pesan Plato ini:
“Jika Anda harus melanggar hukum, lakukanlah untuk merampas kekuasaan yang korup. Untuk kasus-kasus lain, pelajarilah lebih dulu.”
Ro’yuna showab wa yahtamilul khata’, wa ro’yu ghairina khoto’ wa yahtamilus showab.
Oleh: Sulaisi Abdurrazaq (Ketua DPW APSI Jatim)