Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Jawa timurTerbaru

Pengacara Iblis

73
×

Pengacara Iblis

Sebarkan artikel ini

Pengacara Iblis

Oleh: *Sulaisi Abdurrazaq*
(Direktur LKBH IAIN Madura)

SUMENEP, Jatimrelasipublik.com – Jika engkau menjumpai batu kecil di jalan yang bisa mengganggu jalannya kaum muslimin, maka singkirkan lah, barangkali itu yang menjadi penyebab dimudahkannya jalanmu menuju surga”_ (KH. Maimun Zubair)

*METODE* Marlaf Sucipto dalam menyikapi kasus BOP Annuqayah bukan tradisi Pesantren, melainkan tradisi Gereja Katolik.

Cara itu adalah cara pengacara iblis _(devil’s advocate)_ yang mengambil posisi berlawanan dengan argumentasi pihak lain. Bukan karena tak setuju. Melainkan hanya untuk menguji validitas argumen pihak lawan.

Istilah asal pengacara iblis _(devil’s advocate)_ adalah _”advocatus diaboli”_ yang merupakan posisi resmi di Gereja Katolik Romawi antara 1587 dan 1983.

Pengacara iblis diangkat secara resmi dalam program kanonisasi seorang Katolik menjadi santo.

Santo adalah lelaki beriman yang telah meninggal dan dipercaya Gereja telah melihat Allah secara langsung di surga.

Tradisi Pesantren tidak begitu. Santri tidak boleh memotong pembicaraan kiai, apalagi menunjukkan sikap berseberangan dengan guru dan kepentingan pesantren.

Selama ini saya menahan diri untuk menanggapi Marlaf Sucipto, termasuk ketika saya dikirimi rekan jurnalis tentang tulisan berjudul: Perkara Banding, PH Menggerakkan Demonstrasi, Bukan Melawannya Dengan Kontra Memori Banding.

Menahan diri karena pengacara profesional dan beretika tidak mungkin menyampaikan pendapat tanpa pengetahuan dan data yang memadai.

Judul tulisan saja menyesatkan, apalagi isinya. _Hoax_. Kalau dalam dunia jurnalistik dikenal istilah _fake news_. Karena itu saya menahan diri.

Tulisannya mengandung fitnah terhadap saya dalam menangani perkara Husnul Hakiki. Padahal Marlaf tidak termasuk pengacara yang terlibat dalam persidangan. Ia hanya Pengacara pelapor.

Jika Marlaf menantang atau “memaksa” saya untuk menguji apakah tulisannya masuk kategori pidana fitnah atau tidak, maka akan saya uji lewat mekanisme hukum pidana.

Tapi, jika dia menyadari dan mengakui bahwa itu fitnah, tidak perlu lagi kita perpanjang. Cukup sadari saja dan saling menghormati sebagaimana Kode Etik Profesi Advokat Indonesia.

Saya bilang _hoax, fake news,_ atau bahkan fitnah, karena dalam proses banding, sudah sejak lama saya menyampaikan Kontra Memori Banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya dan telah diterima Pengadilan Negeri Sumenep. Karena Marlaf tidak terlibat dalam persidangan, wajar saja dia tidak tahu. Mestinya, jika tidak tahu diam saja.

Karena berkaitan dengan kepentingan umat dan banyak alumni Pesantren Annuqayah, saya merasa perlu menanggapi tulisan Marlaf Sucipto tentang: Kasus BOP Annuqayah. Karena dia bukan pengacara pihak manapun dalam perkara itu, tapi memberi pendapat hukum yang menguntungkan para pelaku. Bisa saja ia berharap dikontrak para pelaku.

Santri dan alumni Annuqayah banyak yang mengirimkan tulisan Marlaf itu ke saya, meminta pendapat saya. Saya jawab begini: Marlaf Sucipto itu punya integritas, gigih, dan persisten. Kita harus jaga dia, agar advokat seperti itu terus bersemi. Ia advokat yang mulai bercahaya. Saya tidak ingin memadamkan cahayanya dengan menanggapi catatan itu.

Tetapi, saya berubah pikiran setelah pengasuh, alumni-alumni Annuqayah, bahkan alumni Sidogiri serta wartawan-wartawan yang mengirimkan tulisan mengenai BOP Annuqayah itu ke saya. Karena hal itu menandakan rasa was was.

Dengan berat hati, dalam perjalanan saya ke Probolinggo untuk urusan perkara Tipikor, saya sempatkan untuk menanggapi begini:

_Pertama,_ menurut republika.co.id tanggal 6 Maret 2013 Marlaf Sucipto pernah ditahan di Mapolrestabes Surabaya untuk mempertanggungjawabkan aksi yang membuat gedung rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya porak poranda.

Pada bagian akhir berita itu kita mendapat gambaran bahwa: _”informasi dari sumber lain menyebutkan masalah dana praktikum dan puspenma itu hanya “pintu” untuk menggulingkan rektor yang dilakukan seorang oknum yang sudah lama ingin menjadi rektor atau pejabat, tapi harapannya tidak tercapai, lalu oknum IAIN Surabaya itu ‘memanfaatkan’ sekitar 15-20 mahasiswa senior yang terancam ‘DO’ untuk beraksi.”_

Pertanyaannya. Siapakah Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2013? Setahu saya Prof. KH. Abd. A’la Basyir. Keluarga Besar Pondok Pesantren Annuqayah Latee.

Atas dasar itu saya berkesimpulan bahwa Marlaf Sucipto sudah terbiasa berseberangan dengan guru-guru Annuqayah, sehingga wajar saja jika ia memberi pendapat yang menguntungkan para pelaku dalam kasus BOP Annuqayah.

Saya bukan alumni Annuqayah, bukan santri Annuqayah. Tapi saya pernah nyantri di Pondok Pesantren Raudhatul Ihsan Palongan Kapedi Bluto Sumenep selama sembilan tahun lebih.

Sebagai santri, saya merasa terpanggil untuk memberi kontribusi terhadap Pesantren. Membela pesantren. Karena itu saya tegaskan bahwa untuk kepentingan pesantren dan warga tidak mampu kami beri bantuan hukum gratis. Tanpa biaya apapun.

Tekad itu adalah manifestasi dari amanah UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dan amanah Kode Etik Advokat Indonesia. Advokat tidak harus selalu berorientasi profit.

_Kedua,_ Marlaf tidak paham kasus BOP. Menulis BOP saja dia tulis BOB.

Pendapat Marlaf yang berbunyi:

_”Menurut saya, yang harus diseriusi untuk didalami adalah Ponpes An Nuqoyah Pordepor itu fakta apa tidak. Jika fakta dan telah mengajukan BOB sesuai ketentuan, mengapa harus dipersoalkan?”_

Pertanyaan itu seperti berkumur-kumur, habis itu airnya dimuntahkan.

Kenapa? Karena tidak ada Ponpes An Nuqoyah Pordepor. Data yang ada alamat An Nuqoyah Lubsa itu beralamat di Guluk-Guluk, bukan di Pordepor.

Pertanyaannya saja sudah salah, bagaimana jawabannya.

Dari mana Marlaf mengambil kesimpulan bahwa An Nuqoyah Lubsa itu beralamat di Pordepor? Yayasan Siratul Islam memang Pordepor, tapi data palsu An Nuqoyah Lubsa yang digunakan pelaku tidak beralamat di Pordepor, melainkan Guluk-Guluk.

Kami telah berkolaborasi dengan Yayasan Pendidikan Sosial dan Dakwah Siratul Islam Pordepor untuk mengungkap masalah ini. Telah terang benderang bahwa Yayasan Siratul Islam tidak pernah memiliki lembaga atau Pondok Pesantren An Nuqoyah Lubsa. Hanya saja, Akta Notaris Yayasan Siratul Islam memang digunakan oleh pelaku tanpa diketahui pihak Yayasan. Semuanya telah disampaikan pihak Siratul Islam di hadapan Kiai.

Kami juga telah menghadap Kemenag Sumenep. Telah jelas bahwa tidak ada data di Kemenag Sumenep mengenai An Nuqoyah Lubsa.

Apakah Annuqayah Daerah Lubangsa, atau Pondok Pesantren Annuqayah telah dirugikan dengan penggunaan data yang jelas-jelas palsu itu?

Saya berpendapat jelas dirugikan. Mestinya Annuqayah Lubangsa berhak memperoleh BOP dari negara. Tapi dalam kasus ini, ternyata pihak lain yang mencairkan. Sebagian besar uang diserahkan ke Annuqayah Daerah Lubangsa dan saya ini telah disita menjadi Barang Bukti. Sebagian lainnya si kantongi pelaku.

Persoalannya bukan jumlah uang. Melainkan penggunaan dokumen palsu yang jelas-jelas merugikan.

Pendapat Marlaf Sucipto bagi saya menyesatkan publik, bukan mencerahkan.

Kalau dalam tradisi Gereja Katolik Romawi, pengacara iblis itu terhormat. Karena ia berusaha memberikan antitesis secara dialogis, dengan bukti dan data yang kuat, tidak menyesatkan.

Kalau tulisan Marlaf saya kira lebih kontekstual jika dikaitkan dengan film _Devil’s Advocate_ yang diperankan oleh Keanu Reeves dan Pacino yang dirilis pada 1997. Bermakna negatif daripada positif.

Pertanyaan saya, mengapa Marlaf Sucipto semangat sekali memberi pendapat hukum yang sumir dan menyesatkan?

Mengapa senang memberi pendapat dalam perkara yang tidak ia tangani?

Sebagai alumni pesantren, mengapa mengambil posisi yang berseberangan dengan pesantren?

Menurut kalian, kira-kira apa ya motifnya?

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *