Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita UtamaJawa timurKota SurabayaPeristiwa

Matlilla: Nakes yang memandikan Jenazah covid 19 (Batal) Tersangka?

63
×

Matlilla: Nakes yang memandikan Jenazah covid 19 (Batal) Tersangka?

Sebarkan artikel ini

SURABAYA,Relasipublik.Com–Lagi dan lagi tenaga kesehatan tersandung kasus hukum. Peristiwa ini telah menimpa 4 petugas Forensik RSUD Djasemen saragih Pematangsiantar yang memandikan jenazah covid 19.

Dalam hal itu, Matlilla ( Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya) menyayangkan dua diantara tenaga Kesehatan yang berprofesi sebagai Perawat, dan mereka disangka melakukan pelanggaran prosedur dalam memandikan jenazah covid 19 berjenis kelamin perempuan, Sehingga ke empatnya dijerat dengan Pasal 79 C Jo Pasal 51 UU RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan pasal 156 huruf a KUHPidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara,”Ucapnya.

Lanjut dia, tentunya, membuat tenaga kesehatan khususnya perawat tidak merasa tenang dalam melaksanakan pekerjaannya karena dihantui rasa takut akan berhadapan dengan penegak hukum. Pasalnya, pada peristiwa tertentu penegak hukum begitu mudahnya menetapkan tenaga kesehatan jadi tersangka, terutama terhadap tenaga kesehatan yang berprofesi Perawat.

Matlilla ( Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang tuah Surabaya: Nakes yang memandikan Jenazah covid 19 (Batal) Tersangka?
#Matlilla ( Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang tuah Surabaya#

“Perawat sebagai Profesi yang mempunyai jenjang pendidikan mulai dari ners, spesialis, dan Doktor, bahkan beberapa yang sudah jadi Profesor,” terangnya.

Menurutnya, sepertinya tenaga kesehatan tidak begitu dihargai atas dedikasi dan pengabdiannya kepada bangsa dan negara ini dalam pelayanan dibidang kesehatan. karena, dibeberapa daerah terkadang perawat dijadikan tumbal kebijakan yang seharusnya bukan kewenangannya akan tetapi hal itu dibebankan kepada perawat, dan tidak sedikit perawat yang harus bertanggung jawab, baik secara hukum dan bahkan sampai pada pemecatan.

Padahal, dalam UU Keperawatan sudah sangat jelas bahwa, seorang perawat dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh undang-undang yang tertera dalam Pasal 36 huruf a UU 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam hal itu juga diatur oleh UU yang lain, tepatnya Pasal 27 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, dan juga diperkuat juga dengan Pasal 57 huruf a UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang juga menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional,”tuturnya

Jadi, secara normatif peraturan di atas, memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menjalankan perintah hukum dalam memberikan jaminan atas perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan. Pemerintah memiliki kewajiban memberikan pengayoman dan menjamin hak-hak tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan termasuk di dalamnya adalah imbalan dan jaminan atas keselamatan dan kesehatan selama bertugas.

Pasalnya, Satjipto Raharjo menyatakan bahwa, perlindungan hukum adalah memberi pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Namun, dalam pelaksanaanya perlindungan hukum belum terlihat dijalankan oleh pemerintah, terutama kepada tenaga kesehatan khususnya perawat. karena, Penegak hukum begitu sangat cepat menetapkan tersangka pada Perawat. Tentunya, dalam hal ini menyakitkan bagi profesi perawat apalagi dalam masa pandemi covid 19, dan perawatlah yang ada digarda paling depan dalam menangani covid 19.

Tapi, Perlindungan hukum yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perawat sangat minim sekali bahkan dalam beberapa peristiwa pemerintah tidak memberikan pembelaan terhadap perawat. Padahal kita tahu bahwa perawat siang dan malam selama 24 jam berinteraksi dengan pasien,” Jelasnya.

Selain itu juga dijelaskan oleh Prof. Nursalam, Guru besar keperawatan, dekan Fakultas Keperawatan Unair, dan ketua Persatuan Perawat & Asosiasi Institusi Pendidikan Ners Indonesia Jawa Timur, menyebut bahwa perawat ini sebagai ”pahlawan tanpa tanda terima”. Penghargaan atau jasa yang diterima, baik secara materiil maupun moril, masih sangat sedikit dan belum sesuai. sebab, Perawat masih dilabeli sebagai pembantu profesi lain dan tidak mempunyai fungsi yang mandiri. Bahkan masih dianggap sebagai second class citizen in health profession,” Ungkapnya.

Kemudian, tambah dia, dibeberapa daerah perawat masih belum diberi kepercayaan dalam memimpin. Tetapi mereka tetap bekerja secara profesional untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Nasib Perawat distrukturalpun belum juga bisa dibuktikan karena minimnya kepercayaan dari pemerintah untuk memimpin, bahkan masih ada perawat hanya dibutuhkan tenaganya saja, tidak mendapatkan imbalan sesuai UU yang ada, dan ketika melakukan kesalahan, atau dicari- cari kesalahannya maka tidak ada ampun baginya, bahkan perawat tersebut harus rela berhadapan dengan penegak hukum seperti yang terjadi pada nakes yang memandikan jenazah covid 19 yang berjenis kelamin perempuan.

Lalu, Apakah tenaga kesehatan laki – laki boleh memandikan jenazah perempuan?
Secara hukum agama menurut Pendapat al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ juz 5 hal. 141-142 لٌ ُ ج َ ر َّ إَل َ اك َ ن ُ َس ه ْ ي َ ل َ و ٌ ة َ أ َ ر ْ ام ْ و َ أ ٌ ة َّ ي ِ ب َ ن ْ ج َ أ ٌ ة َ أ َ ر ْ ام َّ إَل َ اك َ ن ُ َس ه ْ ي َ ل َ و لٌ ُ ج َ ر َ ات َ ا م َ إذ ٍه ُ ج ْ و َ أ ُ ة َ ث َ ًل َ ِه ث ِفي َ ف ٌّ ي ِ ب َ ن ْ ج َ أ : ا( َ ه ُّ َصح َ ِ )أ ي( ان َّ الث َ )و لُ سَّ َ غ ُ ي َ َل َ و ُ م َّ م َ ي ُ ي ِ ور ُ ه ْ م ُ ج ْ ال َ د ْ ِعن ا َ م ُ ه َ ف ْ ر َ ُّض ط ُ غ َ ي َ و ا ة َ ق ْ ِدِه ِخر َ ى ي َ ل َ ع ِسلُ ا َ غ ْ ال ُّ ف ُ ل َ ي َ ٍب و ْ و َ ِق ث ْ و َ ف ْ ِمن ُ ه ُ ل سْ ُ غ ِجبُ َ ي ُ م َّ م َ ي ُ ي َ َل َ و لُ سَّ َ غ ُ ي َ ( َل ُ ِث ال َّ الث َ ِة )و َ ور ُ ر الضَّ َ ر ْ د َ امكنه فان اضطر الي النظر نظر ق َ ِ ِه ب ال َ ِح ب ُ ن َ ف ْ د ُ ي لْ Jika seseorang tidak ada orang yang berjenis kelamin sama dan tidak mempunyai mahram, maka ada tiga hukum yaitu :

1. ditayamumkan, ini adalah pendapat jumhur.
2. dimandikan dengan tanpa melepas baju yang dipakai mayit dan berusaha untuk tidak melihat mayit.
3. langsung dikubur tanpa dimandikan dan ditayamumkan.

Berikut tata cara memandikan jenazah dalam keadaan darurat seperti covid 19 yang ditetapkan sebagai bencana non alam, bahkan oleh MUI dalam fatwahnya disebutkan yang meninggal karena covid 19 sama dengan meninggal karena penyakit tha’un. Diperkuat juga dengan Fatwa MUI Nomor: 18 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (TAJHIZ AL-JANA’IZ) Muslim yang terinfeksi Covid-19 dilakukan sebagai berikut:

a. Jenazah dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya b. Petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani; c. Jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama, maka dimandikan oleh petugas yang ada, dengan syarat jenazah dimandikan tetap memakai pakaian.Jika tidak, maka ditayamumkan. Kini, dalam pengertian diatas sudah sengat jelas bahwa dalam bencana, laki-laki boleh memandikan asal jenazah tersebut tetap memakai baju dan yang memandikan tidak perlu melihatnya,” Imbuhnya.

Sementara, pada tgl 24/2/2021 Kejari menghentikan perkara 4 nakes tersebut. Kasipenkum Kejati Sumatera Utara Sumanggar Siagian mengatakan bahwa kasus memandikan jenzah dihentikan karena belum cukup bukti sehingga kejari menghentikan tuntutan terhadap tenaga kesehatan yang sudah jadi tersangka dalam kasus memandikan jenazah wanita positif Covid 19 dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), ada beberapa alasan kenapa kasus tersebut dihentikan, satu, adanya permohonan dari keluarga tersangka, dan dari perawat-perawat RS Djasamen Saragih. Karena, kedua tenaga mereka masih dibutuhkan, dan mereka memang spesialis untuk memandikan mayat.

Tentunya, kabar ini sangat menggembirakan bagi Profesi Perawat, kita berharap kasus-kasus seperti diatas diselesaikan secara non litigasi (penyelesaian hukum diluar pengadilan) atau mediasi agar tercipta suasana yang kondusif antara pasien/ keluarga pasien dan tenaga kesehatan.

Sebab, Perawat rentan berhadapan dengan masalah hukum karena tugas perawat yang dikerjakan kebanyakan adalah pelimpahan tugas dari profesi lain. Berharap kedepan nasib perawat diseluruh Indonesia lebih diperhatikan oleh Pemerintah. Sehingga persoalan yang bisa berimplikasi hukum dan jangan mudah menghakimi mereka.

“Perawat juga melakukan pekerjaan kemanusiaan namun juga tetap sebagai profesi yang profesional, mengedapankan etika dan norma yang ada,” Pungkasnya.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *