Oleh : Mawar, S.sos : Alumni Muda Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur
SUMENEP, Relasipublik.Com – Ramadhan secara etimologi berakar dari bahasa arab “Ramidha” atau “Arramadh” yang berarti kekeringan. Ramadhan secara terminologi berarti bulan dalam Islam yang menjadi waktu khusus untuk melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Ramadhan merupakan bulan kesembilan setelah Sya’ban dan sebelum Syawal dalam penanggalan tahun Hijriyah (Islam).
Pada bulan Ramadhan umat Islam yang telah ditaklif hukum menerima kewajiban untuk menunaikan ibadah puasa ramadhan dengan segala dimensi implikasi logisnya. Firman Allah SWT, “Ya Ayyuhalladzina Amanu Kutiba ‘Alaikum As-Shiam, Kama Kutiba ‘Alalladhina Min Qoblikum La’allakum Tattakun”. (Wahai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk melaksanakan Puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian semua menjadi orang yang bertaqwah).
Ibadah puasa memiliki kedudukan istimewan dibandingkan dengan jenis ibadah lain, khususnya puasa Ramadhan.
Puasa Ramadan juga menjadi sebagai bagian yang terintegritas dari salah satu rukun Islam yang ada lima, termasuk pula puasa sebagai ibadah yang mendapatkan balasan pahala langsung dari Allah SWT.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; ‘Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, setiap kebaikan diberi pahala 10 kali hingga 700 kali lipat, kecuali berpuasa, karena puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahala puasanya (tanpa batas jumlah pahala)’. Al-Hadits.
Dari salah satu keistimewaan ibadah puasa, aroma bau mulut orang yang sedang berpuasa disebutkan lebih wangi di sisi Allah SWT daripada aroma wangi misyk (salah satu jenis minyak wangi). Bahkan jika ada orang yang mengajak bertengkar, umat Islam diminta menahan diri dan berkata; (Sesungguhnya saya sedang berpuasa), dan berpuasa secara medis juga dapat menyehatkan, “Shumu Tashihhu”. Dan masih banyak keistimewaan puasa di bulan Ramadhan.
Pemahaman puasa secara etimologi adalah “Al-Imsyak” yang artinya menahan, sementar puasa secara terminologi sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, dilandasi dengan niat yang telah ditentukan, selama siang hari secara penuh, bagi yang menerima atau mampu berpuasa dengan identitas muslim, yang mempunyai akal, yang suci dari Haid dan nifas.
Dalam berpuasa itu memiliki tingkatan sesuai dengan kualitas dalam menjalankan ibadah puasa. Abu Hamid Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin menjabarkan tentang 3 (tiga) tingkatan orang berpuasa, yaitu puasa orang kebanyakan (Shaum al-‘Umum), puasa khusus (Shaum al-Khusus), serta puasa khusus dari khusus atau spesial (Shaum al-Khusus al-Khusus).
Shaum al-‘Umum (puasa kebanyakan orang)
yaitu orang yang melaksanakan ibadah puasa hanya sekedar mencegah perut dari makan, minum dan menjaga diri dari godaan syahwat birahi semata. Bahkan model puasa seperti ini ditingkatkan dengan katagori puasa paling rendah dibandingkan dua model puasa lainnya.
Artinya orang yang melaksanakan puasa dengan model ini, yakni berpuasa hanya sekadar memenuhi persyaratan dalam ibadah ini yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh suami istri di siang hari. Mereka tetap mendapatkan balasan pahala, sementara terkait kadar atau kualitas pahalanya Wallahu ‘A’lamu.
Sehingga umat Islam harus senantiasa menjaga puasa mereka agar tidak hanya sekadar menjalankan rutinitas semata, atau sekadar menggugurkan kewajiban. Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bulughul Maron, Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Begitu banyak orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga belaka”.
Shaum al-Khusus, model puasa ini tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Namun juga menahannya indera dan alat gerak lainnya dari melakukan berbagai hal yang dilarang syariat. Mulai dari pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan yang bernilai maksiat dalam pandangan Allah SWT.
Umat Islam agar bisa terkategorikan pada tingkatan ini, seorang muslim sedikitnya harus menjaga diri sekaligus menjauhkan diri dari 6 (enam) jenis perbuatan berikut: Pertama, menahan diri dari melihat, memandang segala hal yang dicela dan dimakruhkan yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah “Dzikrullah”
Kedua, menjaga lidah dari perkataan dari hal yang sia-sia seperti mengumpat, berbohong, berkata keji, ucapan yang dapat merenggangkan persaudaraan, ucapan kebencian, atau mengandung riya’. Sehingga seorang muslim yang berpuasa lebih baik berdiam diri dan menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah maupun membaca Al-Qur’an.
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik. Ucapan yang haram diucapkan, haram pula untuk didengarkan. Keempat, mencegah anggota tubuh lain dari perbuatan dosa dengan menghindari dari segala sesuatu yang makruh, mencegah perut mengonsumsi hal syubhat saat waktu berbuka apalagi hal yang diharamkan.
Kelima, tidak berlebihan saat berbuka puasa hingga perut penuh dengan makanan. Sebab perut yang penuh sesak dengan yang halal (dalam konteks berbuka puasa), berbahaya. Sebab seorang tidak mungkin mendapatkan faidah puasa jika saat tiba waktu berbuka, ia hanya mengincar apa yang tidak didapat saat berpuasa.
Keenam, mempunyai hati yang diliputi rasa cemas dengan penuh harap karena ketidaktahuan (apakah puasanya diterima atau tidak). Sehingga seorang muslim harus senantiasa berikhtiar memperbaiki diri dengan tidak berpuasa pada model dan tingkatan yang dilakukan.
Shaum al-Khusus al-Khusus, model puasa ini merupakan level puasa para Nabi, orang-orang shalih hingga para kekasih Allah SWT. Sebab pada tingkat puasa ini, hati juga berpuasa dari segala cita-cita hina, termasuk melepas dari segala pikiran duniawi, serta mencegah dari sisi lain selain Allah SWT.
Bahkan dalam tingkatan puasa ini, orang yang berpuasa tidak rela saat mereka justru lalai mengingat Allah SWT. Sebab fokus ibadah puasa yang dilakukan pada tingkatan ini hanya semata-mata mengharap Ridha Allah SWT sehingga puasa level ini masuk katagori tingkatan paling utama.
Dalam pelaksanaan ibadah puasa bulan suci Ramadhan juga ada 3 (tiga) hal yang harus diketahui dan diperhatikan oleh umat Islam, bahwa selam 1 (satu) bulan berpuasa lamanya itu, diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bagian. Yakni 10 (sepuluh) hari awal bulan suci Ramadhan merupakah “Rahmah”, 10 (sepuluh) hari pertengahan bulan Ramadhan adalah “Maqhfirah” dan 10 (sepuluh) hari terakhir adalah “Itskun ‘Aninnari”.
Mawardi MS : Alumni Muda Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur
Mawardi MS : Ramadhan Kariem Dengan Segala Dimensinya
Ramadhan secara etimologi berakar dari bahasa arab “Ramidha” atau “Arramadh” yang berarti kekeringan. Ramadhan secara terminologi berarti bulan dalam Islam yang menjadi waktu khusus untuk melaksanakan kewajiban puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Ramadhan merupakan bulan kesembilan setelah Sya’ban dan sebelum Syawal dalam penanggalan tahun Hijriyah (Islam).
Pada bulan Ramadhan umat Islam yang telah ditaklif hukum menerima kewajiban untuk menunaikan ibadah puasa ramadhan dengan segala dimensi implikasi logisnya. Firman Allah SWT, “Ya Ayyuhalladzina Amanu Kutiba ‘Alaikum As-Shiam, Kama Kutiba ‘Alalladhina Min Qoblikum La’allakum Tattakun”. (Wahai Orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk melaksanakan Puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian semua menjadi orang yang bertaqwah).
Ibadah puasa memiliki kedudukan istimewan dibandingkan dengan jenis ibadah lain, khususnya puasa Ramadhan.
Puasa Ramadan juga menjadi sebagai bagian yang terintegritas dari salah satu rukun Islam yang ada lima, termasuk pula puasa sebagai ibadah yang mendapatkan balasan pahala langsung dari Allah SWT.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin, Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; ‘Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, setiap kebaikan diberi pahala 10 kali hingga 700 kali lipat, kecuali berpuasa, karena puasa untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi pahala puasanya (tanpa batas jumlah pahala)’. Al-Hadits.
Dari salah satu keistimewaan ibadah puasa, aroma bau mulut orang yang sedang berpuasa disebutkan lebih wangi di sisi Allah SWT daripada aroma wangi misyk (salah satu jenis minyak wangi). Bahkan jika ada orang yang mengajak bertengkar, umat Islam diminta menahan diri dan berkata; (Sesungguhnya saya sedang berpuasa), dan berpuasa secara medis juga dapat menyehatkan, “Shumu Tashihhu”. Dan masih banyak keistimewaan puasa di bulan Ramadhan.
Pemahaman puasa secara etimologi adalah “Al-Imsyak” yang artinya menahan, sementar puasa secara terminologi sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib adalah menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, dilandasi dengan niat yang telah ditentukan, selama siang hari secara penuh, bagi yang menerima atau mampu berpuasa dengan identitas muslim, yang mempunyai akal, yang suci dari Haid dan nifas.
Dalam berpuasa itu memiliki tingkatan sesuai dengan kualitas dalam menjalankan ibadah puasa. Abu Hamid Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin menjabarkan tentang 3 (tiga) tingkatan orang berpuasa, yaitu puasa orang kebanyakan (Shaum al-‘Umum), puasa khusus (Shaum al-Khusus), serta puasa khusus dari khusus atau spesial (Shaum al-Khusus al-Khusus).
Shaum al-‘Umum (puasa kebanyakan orang)
yaitu orang yang melaksanakan ibadah puasa hanya sekedar mencegah perut dari makan, minum dan menjaga diri dari godaan syahwat birahi semata. Bahkan model puasa seperti ini ditingkatkan dengan katagori puasa paling rendah dibandingkan dua model puasa lainnya.
Artinya orang yang melaksanakan puasa dengan model ini, yakni berpuasa hanya sekadar memenuhi persyaratan dalam ibadah ini yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh suami istri di siang hari. Mereka tetap mendapatkan balasan pahala, sementara terkait kadar atau kualitas pahalanya Wallahu ‘A’lamu.
Sehingga umat Islam harus senantiasa menjaga puasa mereka agar tidak hanya sekadar menjalankan rutinitas semata, atau sekadar menggugurkan kewajiban. Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Bulughul Maron, Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “Begitu banyak orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga belaka”.
Shaum al-Khusus, model puasa ini tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Namun juga menahannya indera dan alat gerak lainnya dari melakukan berbagai hal yang dilarang syariat. Mulai dari pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan yang bernilai maksiat dalam pandangan Allah SWT.
Umat Islam agar bisa terkategorikan pada tingkatan ini, seorang muslim sedikitnya harus menjaga diri sekaligus menjauhkan diri dari 6 (enam) jenis perbuatan berikut: Pertama, menahan diri dari melihat, memandang segala hal yang dicela dan dimakruhkan yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah “Dzikrullah”
Kedua, menjaga lidah dari perkataan dari hal yang sia-sia seperti mengumpat, berbohong, berkata keji, ucapan yang dapat merenggangkan persaudaraan, ucapan kebencian, atau mengandung riya’. Sehingga seorang muslim yang berpuasa lebih baik berdiam diri dan menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah maupun membaca Al-Qur’an.
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik. Ucapan yang haram diucapkan, haram pula untuk didengarkan. Keempat, mencegah anggota tubuh lain dari perbuatan dosa dengan menghindari dari segala sesuatu yang makruh, mencegah perut mengonsumsi hal syubhat saat waktu berbuka apalagi hal yang diharamkan.
Kelima, tidak berlebihan saat berbuka puasa hingga perut penuh dengan makanan. Sebab perut yang penuh sesak dengan yang halal (dalam konteks berbuka puasa), berbahaya. Sebab seorang tidak mungkin mendapatkan faidah puasa jika saat tiba waktu berbuka, ia hanya mengincar apa yang tidak didapat saat berpuasa.
Keenam, mempunyai hati yang diliputi rasa cemas dengan penuh harap karena ketidaktahuan (apakah puasanya diterima atau tidak). Sehingga seorang muslim harus senantiasa berikhtiar memperbaiki diri dengan tidak berpuasa pada model dan tingkatan yang dilakukan.
Shaum al-Khusus al-Khusus, model puasa ini merupakan level puasa para Nabi, orang-orang shalih hingga para kekasih Allah SWT. Sebab pada tingkat puasa ini, hati juga berpuasa dari segala cita-cita hina, termasuk melepas dari segala pikiran duniawi, serta mencegah dari sisi lain selain Allah SWT.
Bahkan dalam tingkatan puasa ini, orang yang berpuasa tidak rela saat mereka justru lalai mengingat Allah SWT. Sebab fokus ibadah puasa yang dilakukan pada tingkatan ini hanya semata-mata mengharap Ridha Allah SWT sehingga puasa level ini masuk katagori tingkatan paling utama.
Dalam pelaksanaan ibadah puasa bulan suci Ramadhan juga ada 3 (tiga) hal yang harus diketahui dan diperhatikan oleh umat Islam, bahwa selam 1 (satu) bulan berpuasa lamanya itu, diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bagian. Yakni 10 (sepuluh) hari awal bulan suci Ramadhan merupakah “Rahmah”, 10 (sepuluh) hari pertengahan bulan Ramadhan adalah “Maqhfirah” dan 10 (sepuluh) hari terakhir adalah “Itskun ‘Aninnari”.
Editor : Mawardi